Sabtu, 13 Oktober 2018


Ini ecek-eceknya muka berantem >.<


Beberapa Teman pernah bertanya kepadaku dan bang Parlin, suamiku.
"Pernah gak kak/bang kalian bertengkar?, Kok kalian seperti orang pacaran terus?".

Biasanya kalau dapat pertanyaan seperti ini aku langsung tersenyum menahan tawa.
Bagaimana tidak ya, pikiranku pasti langsung terbawa ke moment dimana aku dan bang Parlin beradu argumen, moment kami saling berkeras kepala (biasanya sih aku yg keras kepala xixixi),  moment kami jutek-jutekan, moment aku ngomong keras (Abang bukan tipikal orang yg berbicara keras), moment kami nangis berdua , banyak deh.
Jadi sama seperti orang lain, pasangan lain, kami pernah bertengkar.

Ya kali, 2 kepala dijadikan 1 atap, sama-sama Mulu, masak ga pernah bertengkar.
2 jiwa yg sangat berbeda dijadikan satu. Pastilah pernah bertengkar. Bertengkar apa saja. Dari pertengkaran kecil sampe yang buat nangis bombai.
Dan aku pikir itu sangat-sangat manusiawi lah, malah aneh sih kalau ga ada konflik.
Kakak beradik yang sedarah aja pasti pernah bertengkar, bukan berarti gak saling sayang kan?. Sama sih seperti suami istri, bertengkar bukan berarti gak saling cinta lagi.
Nah, tinggal gimana cara kita menyikapi konflik rumah yang ada.
Sebenarnya agak gimana gitu aku nulis ini, masih newbie juga dalam perumahtanggaan, masih terhitung manten baru.

Jadi aku akhirnya nulis ini karena sejujurnya kami baru bertengkar 😭 (Tear :'))

Jujur intensitas pertengkaran kami sebenarnya sudah jauh berkurang dibandingkan awal-awal menikah, awal-awal menikah itu masa berat sekali untuk kami, banyak sekali ujian ditambah lagi masih sangat-sangat baru beradaptasi satu dengan yang lain, beradaptasi dengan dunia pernikahan , jelas kehidupan pernikahan dengan kehidupan masa lajang beda sekali, beradaptasi dengan keluarga pasangan. Proses adaptasi ini sangat sulit untuk kami, ditambah ada banyak sekali pergumulan ( aku belum siap untuk berbagi ttg hal ini, tapi suatu saat aku akan berbagi).

Nah, itu diawal pernikahan (tahun lalu).

Tahun 2018, kami berkomitmen untuk lebih melembutkan hati, dan menyerahkan semua masalah kamu kepada Tuhan, belajar untuk tidak khawatir akan hidup.
Jadi dalam mengakhiri tahun dan mengawali tahun kami membuat moment berdua sharing serius tentang kehidupan kami dan membuat resolusi pribadi dan dan resolusi keluarga, dan berdoa.

Nah, aku bersyukur sekali untuk komitmen kami itu. Kamu melewati hari-hari dengan rasa syukur meskipun sangat sulit. Kondisi rumah tangga tidak jauh beda tahun kedua dengan tahun pertama, tapi Tuhan masih tetap pelihara hidup kami. Kamu belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil, belajar untuk melihat sesuai dari sisi positif, melihat masalah sebagai kebaikan Tuhan, walau rasanya pergumulan tak kunjung berhenti, silih berganti tanpa jeda.
Tapi bukan berarti semua baik-baik saja, tetap ada air mata, tetap ada pertengkaran. Hanya saja lebih cepat untuk saling introspeksi dan saling belajar.

Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu, aku benar-benar dalam proses pembentukan diri. Rasanya aku tak mampu untuk bersyukur, rasanya kekuatanku untuk berserah habis. Aku menyalahkan keadaan, aku menyalahkan diriku dan orang lain. I want give up. Semua yang pernah kami lewati terasa tak baik semua, pandanganku terhadap proses kehidupan mengerikan, aku sampai ke titik merasa bahwa Tuhan tidak menyayangiku, aku merasa Tuhan tidak adil untuk kami. Aku menyalahkan Tuhan. Aku menyalahkan suamiku.
Dan kami bertengkar.
Semua bermula karena aku bermasalah dengan diriku sendiri, dengan pikiran-pikiran negatif yang kubiarkan menguasai ku.
Aku memandang Tuhan menutup rejeki, memandang kehidupan ini sungguh tidaklah adil.
Aku bertanya pada Tuhan "apalagi yang kurang Tuhan?"
Aku merasa aku sudah baik, aku merasa pelayanan ku sudah baik, aku tak jahat dengan orang-orang, tapi kenapa kami harus merasakan ini semua?

Aku menyalahkan suamiku yang tak memiliki pekerjaan seperti orang lain.
Yaa aku jadi membandingkannya dengan pria lain.

Aku bahkan mengajaknya untuk mati sama-sama.
Aku bilang, aku give up.
Aku tak tahan lagi.
Semuanya tak berjeda, silih berganti.

Rasanya semua membuatku khawatir.
Aku menangis.
Kami selalu berdebat. Berdebat tentang aku merasa hidup ini tak adil, dan dia membantah. Sebenarnya dia sedang mengingatkanku.
Sampai suamiku di titik merasa tak berdaya, suamiku jadi merasa sangat bersalah denganku. Karena aku melontarkan semua Semua kalimat yang membuat dia seolah tak bertanggung jawab. Membuat dia seolah tak bisa melakukan apa-apa.
Aku seperti istri Ayub dalam kisahnya.


Aku menutup hariku dengan tangisan.
Aku tahu suamiku sedang lemah juga, tapi rasa khawatirnya akan kesehatanku lebih kuat. Padahal setengah jam yg lalu baru bertengkar, dia tetap mengelus keningku sampai aku tertidur.
Bangun pagi, aku mendengar suamiku sedang menyiapkan sarapan, ternyata dia bangun lebih dulu. Aku harusnya tahu dia sedang berusaha membantuku.

Dasar aku istri yang tak bisa diandalkan, pikirku.
Tapi sisi lain aku juga berpikir " ngapain dia melakukan itu? Itukan tanggung jawab ku".
Dasar aku memang si keras kepala.
Bangun-bangun bukannya bahagia diperlakukan seperti itu, Aku malah jutek ke bang Parlin 😭
Setengah hatiku merasa bersalah, setengah lagi merasa dia mengambil tanggung jawab ku.
Emang dasar aku sudah dilingkupi perasaan negatif.
Tapi tak lama kemudian, aku berjuang untuk tenang.
Ku lihat wajah suamiku diam-diam, aku melihat wajah yang lelah juga.
Ku dekati dia, ku letakkan wajahku di pundaknya. Tapi tak berkata apa-apa, aku hanya menangis. Aku merasa bersalah, aku merasa seperti istri Ayub yang mengajak Ayub untuk tidak percaya pada Tuhan. 
Aku menangis melepaskan semua yang dihatiku.

Ya aku kelelahan.
Aku menuangkan semuanya dengan air mata tanpa kata-kata. Dia mencoba untuk menguatkanku. Sampai aku benar-benar tenang.
Kemudian dia menyuruhku untuk "pergi sana berdoa,mungkin Adek juga sedang perlu menangis dengan Tuhan"
Aku tak mau.
Jujur aku rindu. Tapi aku merasa bersalah.
Aku enggan datang, aku takut. Aku merasa seperti istri Ayub. 

Sampai pada akhirnya aku memberanikan diri datang kepadaNya.
Dia menerimaku.
Aku damai denganNya.
Apakah semua semudah itu? Tidak.
Sulit bagiku untuk mengawali persekutuan itu.
Tapi aku merasa lebih sulit hidup jauh dari Tuhan.
Aku memaksa diriku datang dan berdoa.
Dan aku damai.

Kesalahanku adalah membiarkan pikirinku diisi oleh hal-hal negatif. Diisi oleh rasa khawatir yang berlebihan.
Aku membiarkan diriku terbawa jauh dari Tuhan.
Aku membiarkan diriku dengan kebodohan.
Aku diterima kembali.
Diterima oleh Tuhan.


Aku mau menyerahkan kembali semuanya kepadaNya, semua pergumulan masih ada, aku sekarang merasakan ringan kembali seperti bulan-bulan sebelumnya. Karena Tuhan yang menolongku mengangkatnya.
Bodohnya aku mengangkat beban ku sendiri, ya gak mungkin aku mampu 😭

Kisah ini mengajarkanku untuk lebih lagi berserah, untuk tidak sombong dengan kekuatanku.
Mengajarkanku secara pribadi untuk mampu bersyukur ditengah pergumulan.
Karena sejatinya bukan karena bahagia kita merasa bersyukur, tapi bersyukurlah maka kebahagiaan menghampiri.
Yaa.. aku pasti kuat.
I want give up, kita ganti menjadi i won't give up.



Pyaar..
Udah ah sedih-sedihnya.
Doakan ya manteman aku kuat.
Aku janji aku akan cerita ttg pergumulanku sekarang kapan-kapan.
Bukan karena untuk membuka aib.
Aku mau berbagi, siapa tahu pengalamanku menjadi pelajaran untuk kalian, sebagaimana aku juga belajar dari pengalaman orang lain.

Dan yes. Aku dan bang Parlin pernah bertengkar. Pertengkaran emang tidak baik, apalagi dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai menimbulkan dendam, itu bahaya. Tapi biarkanlah pertengkaran yang ada menjadi pembelajaran untuk kehidupan yg naik level.
Tapi keseringan juga bahaya.
Semakin hari harus semakin belajar mengikis keegoisan diri.


"Terus kenapa kalian terlihat seperti pacaran terus?" Mungkin ada yang dalam hatinya nanya ini ya (kepedean gueeh wkwkw)

Ya masak kami harus bertengkar di muka umum sih? Masak aku harus mengumbar pertengkaran di media sosial?

"Yaelah Vera, ini juga kamu lagi umbar pertengkaran"

Enggaklah, ini bukan mengumbar pertengkaran. Pertengkarannya udah selesai, sekarang umbar pembelajaran hidup.
Eaaaak (jangan muntah yaak >,<)


Ok ok serius..


Aku bersyukur sekali untuk suami hebat sepertinya. Ku bayangkan aku menikah dengan yang tidak bisa "menolongku", mungkin saat aku down, aku semakin dibuat down, dan mungkin aku tak akan dimaafkan bahkan tak diarahkan ke jalanNya.

Kembali lagi teman-teman, kami masih newbie, terhitung manten baru yang mungkin kisah pernikahannya masih ceteek (bahasa apaan sih LOL), tapi semoga ini bermanfaat, apalagi untuk para manten baru atau anak gadis yang akan jadi manten baru eaaakkk...
Udah baikan wkwkwk


#marriagelife


Cerita Vera Oktavia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates