Senin, 10 Desember 2018

Dari judulnya ini bisa kena gampar aku sama banyak orang hahaha.. karena emang kita masih menjujung tinggi patriarki, dimana pekerjaan rumah tangga hanya pekerjaan perempuan, dan laki-laki sebagai bosnya yang tukang ngatur sana-sini. Gak bisa ku pungkiri sih, dulu aku juga berpikir begitu karena emang udah jadi budaya yang diturunkan dari orangtua dan emang begitulah pola yang dimasyarakat.

Aku mau cerita sedikit tentang pembagian pekerjaan rumahtangga kami. Jadi awal menikah, aku masih menjunjung tinggi budaya itu. Aku mau pekerjaan yang dianggap pekerjaan wanita itu ya dikerjakan oleh wanita. Seperti masak, nyuci kain,nyuci piring, ngepel, dan nyapu, dan menyetrika. Dulu di lingkungan tempat tinggalku sering sekali terdengar “ perempuan harus bisa beres-beres nanti dipulangkan suami dan mertuamu”. Dan itu terpatri dibenakku. Benar saja, setelah menikah rasanya harga diriku runtuh kalau suamiku masak. Pernah  suatu hari yang sangat sibuk, suamiku langsung ke dapur untuk masak sarapan, dan itu menjadi bahan pertengkaran kami. Bukan, bukan karena suamiku marah aku tidak masak, tapi karena aku marah suamiku mengambil alih pekerjaanku. Kalian mau ketawa yak karena harusnya aku senang dibantu? Ya harusnya aku senang, namun yang terjadi adalah aku marah karena aku merasa harga diriku turun karena pekerjaanku di ambil alih. Suamiku mencoba menjelaskan bahwa ya gak apa-apa kalau dia masak.

Dari konflik itu kami mulai berdiskusi tentang pembagian tugas pekerjaan rumah. Benar saja, kalau semuanya aku kerjakan sendiri dengan posisi kami sama-sama bekerja ya bisa capek sendiri aku. Suamiku adalah pria yang tidak bossy. Bukan pria yang mau dilayani terus menerus. Jadi, kami memutuskan untuk menyepakati pembagian tugas-tugas itu. Pembagian itu dibuat berdasarkan pekerjaan apa yang disukai dan tidak disukai, yang kira-kira bisa dan tidak bisa dikerjakan, dan waktu pengerjaan karena ini akan disesuaikan dengan jam kerja dan aktivitas lainnya.
Kalau tentang pekerjaan rumah yang aku sukai sebenarnya gak ada pekerjaan rumah yang aku benar-benar sukai, tapi tak ada yang aku akan hindari untuk dikerjai. Aku sejak kecil sudah terbiasa mandiri untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dari mulai menyapu, mengepel, mencuci kain, menyetrika, dll. Semua itu telah aku kerjakan sejak aku masih SD. Ketika aku masih SD mamak selalu mengajak aku untuk memperhatikannya memasak, entah itu hanya untuk mengiris bawang atau  untuk disuruh-suruh ambil ini dan itu. Tujuannya agar aku sebagai anak paling besar bisa mandiri dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Makanya aku udah bisa masak (untuk keluarga) sejak aku masih kecil. Mencuci kain dan kawan-kawannya juga. Ah jiwaku emang jiwa babu sejak kecil hehehe. Makanya tak heran sejak menikah aku ingin mengerjakan semuanya sendiri juga, dan menjadikan suamiku tipikel laki-laki yang duduk-duduk santai sambil baca koran wkwkwk padahal aku salah total.

Oklah lanjut ya.. btw ini keknya gak tulisan yang per poin-poin gitu ya. Ini cerita mengalir aja. Jadi siap-siap akan panjang. Hahaha

Kenapa akhirnya kami harus berbagi pekerjaan rumah?
Ya karena aku dan suami sama-sama punya kegiatan untuk mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian, yang menghabiskan tenaga dan waktu kami. Jadi diawal nikah itu, aku bangun pagi, membiarkan suamiku tidur lama, dan aku masak sendiri, nyuci sendiri, beberes rumah sebelum berangkat kerja, pulang kerja juga begitu. Hasilnya aku kelelahan, dan mudah emosi, ternyata aku gak sabar juga melihat orang bersantai, tapi labilnya, kalau dia mengerjakan pekerjaan rumah, aku tersinggung. Sungguh aku sangatlah labil. Hahaha

Jadi setelah kami memutuskan untuk melakukan pembagian kerja, hasilnya adalah :

Di pagi hari, suamiku yang beberes rumah, dari mulai membereskan tempat tidur ( ini kadang masih aku sih), sampai menyapu rumah dan menyapu halaman. Aku masak. Lalu kami akan beberes diri dan bersiap-siap bekerja.
Di sore hari,  aku akan membereskan rumah (lagi), masak makan malam (kalau lauk pagi habis), mencuci piring, kain dll. Bisanya menyetrika di weekend.
Dan secara keseluruhan kami akan kerja sama sih, ga paku mati. Misalnya waktu aku nyuci kain, biar cepat, suami yang jemur. Kadang kalau aku masak makan malam, suami yang nyuci piring. Polanya ga kaku gitu. Hasilnya aku lebih tenang hahahah

Tapi itu dulu, waktu aku belum resign

Sekarang setelah resign hampir semua aku yang kerjakan, tapi suamiku tetap menolong. Gak ada ceritanya 100% pekerjaan rumah aku yang kerjakan sekalipun aku sudah bekerja dirumah, ya kali walaupun aku di rumah aja, akukan juga punya aktivitas “nyari uang” di rumah hahaha

Jadi sekarang...
aku masak, abang suami nyapu rumah dan halaman, dan ngepel teras, beberes tempat tidur dilimpahkan ke aku. Pekerjaan lain aku yang kerjakan. Biasanya aku akan kerjakan kegiatan menyuci kain, piring, dan lain-lain itu di pagi hari, agar siang ke sore aku udah tenang mengerjakan aktivitas craft dan menulisku. Oia, untuk menyetrika pakaian, itu adalah tugas pak suami. Ga tahan aku untuk duduk lama-lama menyetrika. Soalnya kerjaanku lebih banyak duduk, jadi pinggang sakit sekali rasanya kalau menyetrika. Namun ga paku mati juga sih, kalau misalnya kegiatan suami benar-benar padat aku akan menyicil setrikaan. Oia, untuk beberes halaman seperti mencabut rumput, menaman tanaman, dan lain-lain itu ku serahkan seutuhnya kepada suami, maaf ni maaf, aku emang gak suka sama sekali yang berhubungan dengan tanam-menanam. Bukan karena apa-apa guys, terserah deh kalau dibilang kementelan atau gimana, aku takut cacing daqn sejenisnya guys. Geli geli gimana gitu. Aku takut hahaha.

Intinya sih kami sepakat kalau pekerjaan apapun dirumah harus di kerjakan dengan kerja sama. Gak ada ceritanya ngasih jenis kelamin untuk pekerjaan rumah. Gak ada kerjaan cewek dan kerjaan cowok. Semuanya disesuaikan dan disepakati bersama. Itu kenapa dalam rumah tanggga perlu saling komunikasi. Semoga saja seterusnya begini.





Cerita Vera Oktavia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates