Minggu, 12 Mei 2019

Oleh : Vera Oktavia Sinaga




      Layaknya sebuah rumah pada umumnya, teras merupakan bagian depan yang berfungsi menyambut tamu. Dengan demikian, bagian depan rumah tersebut dihias ataupun diatur sedemikian rupa sehingga menjadi indah di pandang. Ibarat sosok manusia, teras disimbolkan sebagai wajah, yang pertama sekali dipandang oleh orang ketika sedang bertemu atau bertatap muka. Hal ini pulalah yang semestinya terjadi di suatu wilayah Negara, daerah perbatasan antara satu negara dengan negara lain harus menjadi ‘teras’ atau beranda yang baik. Seperti yang di catat dalam artikel yang berjudul “ Bangun Perbatasan Jadi Terasnya Indonesia oleh Korindonews.com, (2018) mengatakan bahwa, kesan daerah perbatasan hendaknya tercermin sebagai sebuah teras bagi suatu negara yang berfungsi untuk menyambut tamu. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Daerah perbatasan yang seharusnya menjadi teras sebagai penyambut tamu dari negara lain malah menjadi daerah yang terbelakang seolah sebagai ‘dapur’ sebuah rumah yang sering disebut sebagai daerah terdepan, terluar, dan tertinggal ( daerah 3 T ).
     Apakah penyebab hal tesebut bisa terjadi? Salah satunya adalah persepektif. Perspektif mengenai daerah perbatasan kian melekat pada bangsa ini, yaitu sebagai daerah yang memang terbelakang atau terpinggirkan. Dalam masyarakat umum seakan sudah terpatri bahwa daerah perbatasan merupakan daerah terpencil, terpelosok dan terbelakang. Daerah Perbatasan tersebut selama ini dianggap sebagai ‘dapur’ bukan sebagai teras baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut dalam bulletin yang berjudul “Dinamika Pembangunan Kawasan Perbatasan Negara”, Bappenas, (2010), meyatakan bahwa, paradigma pembangunan daerah perbatasan negara lebih di orientasikan kepada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan.  Oleh sebab itu, wajar kondisi daerah perbatasan seperti yang kita saksikan saat ini, masih merupakan daerah terbelakang dengan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang memprihatinkan.
        Lantas apa yang dimaksud dengan daerah 3 T  (terdepan, terluar,  dan tertinggal)? Daerah 3 T ini dibagi menjadi 2 ( dua ) kategori, yaitu : ( 1 ) Daerah Tertinggal (2) Daerah Terdepan dan Terluar (Perbatasan). Menurut Perpres RI No. 131 Tahun 2015 Pasal 1 Ayat 1 mengatakan bahwa “ daerah teringgal merupakan daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional”. Pasal 2 menambahkan kriteria ditetapkannya suatu wilayah sebagai daerah tertinggal yaitu : perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Dalam Perpres tersebut juga dipaparkan bahwa terdapat 122 Kabupaten di tanah air yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal dengan Provinsi Papua sebagai provinsi paling tertinggal ( 26 Kabupaten ), disusul Provinsi Nusa Tenggara Timur ( 18 Kabupaten ) di posisi ke dua.
    Namun, beda halnya dengan daerah terdepan dan terluar (perbatasan). Menurut Peraturan Presiden RI No. 12 tahun 2010, Tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, bahwa Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Data dari Perusahaan Pengelolaan Dana Pendidikan ( LPDP ) menunjukkan bahwa terdapat 48 kabupaten yang tergolong ke dalam daerah terdepan dan terluar (perbatasan). Provinsi Papua tercatat sebagai daerah penyumbang terbesar kawasan perbatasan yaitu sebanyak 6 kabupaten, disusul Provinsi Kalimantan Barat ( 5 Provinsi ), Nusa Tenggara Timur ( 5 Provinsi ), Riau ( 5 Provinsi ), dan Kepulauan Riau (5 Provinsi).

Kondisi jalan Perbatasan yang rusak antara Serawak (Malaysia) dan Kalbar
Sumber : Doc Bappenas
Pemerataan Pembangunan Daerah Perbatasan Sebuah Keharusan
Lalu yang menjadi pertanyaannya, bagaimana langkah untuk mengubah ‘dapur’ menjadi ‘teras’, sehingga daerah 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal)” tidak lagi menjadi kawasan terbelakang melainkan menjadi wilayah yang maju dan sejahtera. Hal pertama yang mesti dilakukan adalah merubah perspektif atau paradigma pembangunan. Paradigma pembangunan Indonesia di masa lalu adalah lebih menekankan kepada keamanan kawasan, hal itu harus ditinggalkan dan perlu ditingkatkan menjadi orientasi kesejahteraan. Oleh sebab itu, perlu adanya pemerataan pembangunan, sehingga daerah perbatasan dapat berkembang dengan maju.
Pemerataan pembangunan adalah aspek yang sangat penting bagi suatu negara terkhusus dalam pembangunan fisik dalam hal ini infrastruktur. Suatu kondisi pembangunan yang tidak merata, akan mengakibatkan ketimpangan pertumbuhan daerah sehingga ada yang maju dan ada yang terbelakang. Sebagai contoh negara Indonesia, masih banyak daerah – daerah yang terbelakang khsususnya di daerah perbatasan dengan negara lain. Hal ini dikarenakan masih terfokusnya pembangunan di beberapa daerah saja. Kondisi perbatasan yang sangat tertinggal perkembangannya membuat kondisi yang buruk bagi citra Indonesia terhadap negara tetangga. Pasalnya daerah perbatasan ini merupakan teras depan negara Indonesia yang berfungsi menyambut kedatangan penduduk negara lain yang berkunjung. Namun, yang terjadi malah daerah perbatasan seolah-olah menjadi ‘dapur’ bagi bangsa Indonesia Karena kondisi yang tertinggal tersebut.
Pemerintah Indonesia dewasa ini dibawah kepemimpinan Bapak Presiden  Jokowi perlahan sudah mengubah arah paradigma pembangunan untuk daerah perbatasan. Dengan program nawacita, pemerintah terus meningkatkan pembangunan di daeerah perbatasan. Salah satu contoh pembangunan yang telah dilakukan yaitu di perbatasan antara serawak, Malaysia dengan Provinsi Kalimantan Barat. Pembangunan di tempat tersebut cukup masiv dilakukan khususnya terhadap sarana dan prasarana jalan. Sehingga terlihat bahwa akses jalan di daerah tersebut sudah sangat mulus dan lancar. Dengan adanya aksesibilitas yang bagus, akan memacu pertumbuhan ekonomi diwilayah tersebut secara tidak langsung, sehingga akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sumber : doc indovoice.com      
Tidak hanya di wilayah Kalimantan barat saja, daerah lain di Indonesia juga merasakan dampak pembangunan tersebut. Daerah lain di Indonesia yang juga merasakannya adalah daerah Papua. Papua yang dahulu dikenal sebagai daerah paling terbelakang infrastruktur dan perkembangan ekonominya, perlahan sudah mulai bangkit. Jalan trans papua misalnya, akses yang dahulunya hanya dapat ditempuh dengan menggunakan helikopter, kini sudah dapat di akses dengan transportasi darat. Dengan pembangunan tersebut, masyarakat Papua sedikit tidaknya telah merasakan dampak posistif dari pembangunan tersebut, walaupun belum signifikan. Hal inilah yang menjadi hasil dari orientasi kesejahteraan dalam aspek pembangunan.


Sumber : Doc Youtube
KORINDO Salah Satu Perusahaan Perintis Pembangunan Daerah Perbatasan
Orientasi pembangunan yang seperti itulah yang sangat diharapkan bagi rakyat Indonesia. Namun pada kenyataannya, hingga kini masih banyak daerah yang masih tertinggal khususnya di daerah pedalaman dan perbatasan. Oleh sebab itu tanggup jawab pembangunan tidak serta merta dibebankan kepada pemerintah saja, namun masyarakat Indonesia juga harus mendukung. salah satu bentuk dukungan yang dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini pihak swasta, yaitu yang telah dilakukan oleh KORINDO. KORINDO adalah salah satu Perusahaan Indonesia yang melakukan perintisan pembangunan di daerah perbatasan. Salah satu daerah yang dikembangkan oleh Perusahaan ini adalah Kabupaten Boven Digoel, Papua. Kabupaten ini terletak di perbatasan dengan Papua Nugini. Perusahaan ini telah melakukan banyak hal di daerah tersebut. Salah satunya adalah pengembangan industri kehutanan dan kelapa sawit yang ramah lingkungan. Dengan industri ini KORINDO mampu menyerap tenaga kerja mencapai 10.000 orang sehingga memperkecil tingkat pengangguran. Bahkan, pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi berupa Pendapatan Asli Daerah ( PAD ), terkhusus untuk kabupaten Boven Digoel dan Merauke telah berkontribusi mencapai ±60%. (korindonews.com, 2018)

Klinik Asiki di Kota Asiki, Papua
Sumber : Doc Korindo

KORINDO juga telah mendirikan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Untuk fasilitas kesehatan Perusahaan ini telah mendirikan Klinik Asiki. Klinik tersebut menjadi klinik modern pertama yang ada di daerah pedalaman. Pada tahun 2007, klinik ini menjadi klinik terbaik di tingkat provinsi Papua versi BPJS Kesehatan. Klinik Aliski telah menerapkan program baru yaitu “ mobile service”, sehingga memungkinkan akses dan pelayanan kesehatan di desa – desa terpencil sekitar perusahaan yang ada di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Dalam artikel KORINDO yang berjudul “ Perubahan untuk Indonesia yang Lebih Baik “, memaparkan bahwa subjek utama program  kesehatan ini adalah terhadap Ibu hamil dan bayi. Hal tersebut yang membuat Para Dokter dan tenaga medis gencar melakukan penyuluhan kesehatan terhadap  masyarakkat luas khususnya ibu – ibu hamil. Strategi penyuluhan ini dilakukan di berbagai tempat seperti sekolah, radio, sampai ke pelosok desa. Kegiatan penyuluhan ini begitu massivnya dilakukan dikarenakan masih banyak masyarakat Papua yang percaya terhadap pengobatan secara tradisional. (korindonews.com, 2018)
KORINDO selain mengelola bisnis, namun juga tetap memberdayakan masyarakat di Kabupaten Boven Digoel. Pemberdayaan ekonomi berupa pembangunan pasar menjadi saksinya. Dengan adanya pasar di Kota Asiki, masyarakat dapat terbantu untuk memasarkan hasil pertanian dan perkebunannya, yang notabene merupakan produk utama masyarakat setempat. Selain itu, dengan adanya pasar ini, masyarakat juga tidak perlu jauh – jauh ke Kota Merauke untuk membeli kebutuhan pokoknya. Dan yang paling penting dengan berdirinya pasar ini, jenis pekerjaan masyarakat setempatpun kian bertambah, yaitu berprofesi sebagai pedagang. (korindonews.com, 2018)
Kondisi Pasar di Asiki, Papua
Sumber :doc tniad.mil.id
Dengan adanya pemerataan pembangunan di berbagai wilayah perbatasan di Indonesia, akan mendorong secara signifikan kemajuan diberbagai bidang kehidupan masyarakat terkhusus kesejaheraan ekonomi. Ditambah lagi dengan pembangunan infrastruktur berupa sarana dan prasarana jalan menjadi pendukung utama mobilitas manusia dalam berbagai bidang seperti ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian tidak  ada lagi kendala untuk distribusi barang dan jasa.
Akhirnya, dengan pembangunan infrastruktur jalan, pemerataan pembangunan,  dan merubah perspektif pembangunan dari orientasi pertahanan dan keamanan menuju orientasi pembangunan kesejahteraan masyarakat, memungkinkan merubah wajah Indonesia menjadi baru atau lebih baik, yang tidak lagi menjadi ‘dapur’ namun menjadi sebuah teras yang bagus sebagai penyambut tamu (negara lain). Dengan demikian Indonesia akan menjadi Negara yang terpandang dan disegani, sehingga negara lain khususnya Negara tetangga tidak lagi semena – mena mengklaim kedaulatan wilayah Indonesia. Dan yang terpenting, seluruh masyarakat merasakan keadilan dan kemakmuran yang merata, sehingga tidak ada kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia.
#Salam adil dan makmur – penulis -

Daftar Pustaka

Bappenas. (2010). “Dinamika Pembangunan Kawasan Perbatasan Negara”. Bulletin Kawasan Edisi 24
Perusahaan Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) tentang Data Daerah 3 T (terdepan, terluar, dan tertinggal) tahun 2014
Perpres RI No. 131 Tahun 2015, Tentang Penetapan Daerah Tertinggal.
Peraturan Presiden RI No. 12 tahun 2010, Tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.
https://kalbar.antaranews.com/berita/340818/jalan-perbatasan-kapuas-hulu-masih-rusak





Cerita Vera Oktavia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates